Jakarta, – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan keyakinannya bahwa lembaga antirasuah tersebut tetap memiliki kewenangan penuh untuk melakukan upaya-upaya hukum terhadap jajaran direksi, komisaris, maupun dewan pengawas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) apabila ditemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Penegasan ini disampaikan menyusul adanya diskursus terkait implikasi Undang-Undang BUMN yang baru terhadap status pejabat BUMN dan yurisdiksi KPK.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, pada Jumat (9/5/2025) di Jakarta, menyatakan bahwa KPK tetap dapat menindak kasus korupsi di lingkungan BUMN meskipun ada ketentuan dalam UU BUMN baru yang menyebutkan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan lagi berstatus sebagai penyelenggara negara.

“KPK memiliki keyakinan tetap bisa melakukan upaya-upaya hukum terhadap jajaran direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN bila ditemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi,” ujar Budi Prasetyo.  

Dasar Hukum Kewenangan KPK atas Korupsi BUMN

Penegasan KPK ini didasarkan pada interpretasi dan landasan hukum yang kuat dari Undang-Undang KPK itu sendiri, yakni UU Nomor 19 Tahun 2019. Menurut KPK, kewenangannya untuk menangani kasus korupsi di BUMN tidak semata-mata bergantung pada status “penyelenggara negara” dari para pelakunya.

Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b UU KPK menjadi salah satu rujukan utama. Pasal tersebut menyatakan bahwa KPK berhak untuk menyelidiki dan menuntut tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan/atau merugikan keuangan negara minimal Rp 1 miliar.   

Pihak KPK, termasuk Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam kesempatan terpisah, menjelaskan bahwa frasa “dan/atau” dalam pasal tersebut dapat diartikan secara kumulatif maupun alternatif. “Artinya, KPK bisa menangani kasus korupsi di BUMN jika ada penyelenggara negara, ada kerugian keuangan negara, atau keduanya,” jelas Setyo Budiyanto.   

Dengan demikian, meskipun UU BUMN yang baru, melalui Pasal 9G dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 (sebagaimana disebutkan dalam laporan terkait), mengubah status pejabat BUMN sehingga tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara, KPK tetap dapat menjerat mereka jika perbuatan korupsinya terbukti merugikan keuangan negara senilai minimal Rp 1 miliar. Kewenangan ini juga diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XVII/2019.

KPK akan terus menargetkan berbagai bentuk tindak pidana korupsi yang mungkin terjadi di lingkungan BUMN, seperti praktik penipuan (fraud), suap-menyuap, tindakan yang tidak dilandasi iktikad baik, adanya konflik kepentingan, maupun kelalaian yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh direksi, komisaris, atau dewan pengawas BUMN.

Menyikapi Dinamika Regulasi

Meskipun KPK menunjukkan keyakinannya, lembaga ini juga mengakui bahwa beberapa pasal dalam UU BUMN yang baru berpotensi membatasi kewenangan tertentu dalam mengusut korupsi. Oleh karena itu, KPK berencana untuk melakukan kajian lebih lanjut bersama para ahli hukum untuk memperkuat posisinya dan mengantisipasi dampak aturan baru tersebut terhadap upaya pemberantasan korupsi di sektor BUMN yang sangat strategis bagi perekonomian negara.

Pentingnya pengawasan terhadap BUMN juga ditekankan oleh KPK sebagai bagian dari upaya mendorong penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG). KPK berpandangan bahwa penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di BUMN merupakan salah satu cara untuk menjaga agar perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut dapat dikelola secara akuntabel, transparan, dan berintegritas, sehingga dapat berfungsi optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

KPK juga mengingatkan bahwa meskipun status “penyelenggara negara” bagi pejabat BUMN mungkin didefinisikan ulang oleh UU BUMN, kewajiban-kewajiban lain seperti pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan pelaporan penerimaan gratifikasi bagi mereka yang sebelumnya berstatus penyelenggara negara tetap perlu diperhatikan sesuai ketentuan yang berlaku.

Penegasan sikap KPK ini menjadi penting untuk menghilangkan keraguan publik dan memastikan bahwa upaya pemberantasan korupsi di sektor BUMN akan terus berjalan tanpa kompromi. Sinergi antara KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan bahkan Kementerian BUMN sendiri, seperti yang pernah disepakati semua pihak, menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap tindak pidana korupsi di BUMN dapat diproses secara tuntas demi menjaga aset negara dan kepercayaan masyarakat.